Cerpen Humor Penuh Hikmah
Sejak gue kelas satu sampai kelas lima SD, tidak pernah sekalipun Nyokap
menginjakkan kakinya di sekolah gue. Apapun acara yang digelar di sekolah, Nyokap selalu absen ikut
serta. Bahkan acara ngambil rapot sekalipun, Nyokap gak pernah hadir!
Ada tiga alasan Nyokap gue ngak mau ngambilin
rapot:
1.
Malu.
2. Takut disuruh tanda tangan.
3. Gak dapat duit.
Tapi diantara alasan tersebut, alasan
kedua yang membuat Nyokap berkeras gak mau datang kesekolah. Yupzzz…Nyokap
paling takut disuruh buat tanda tangan! Pendidikan Nyokap yang hanya sampai
kelas dua SD
membuatnya selalu gemetaran kalau disuruh tanda tangan! Apalagi kalau
diperhatikan orang banyak, bisa dipastikan, Nyokap akan memilih goyang dombreng plus makan kulit durian dari
pada harus tanda tangan! Gak percaya? Percayalah…Gak punya uang? Mengemislah,
haha…
***
Suatu pagi yang cerah, ketika matahari
mulai menampakkan upilnya—gue yang sedang makan, mendengar percakapan antara kakak ke
lima gue dengan
Nyokap.
“Benar, tidak di suruh tanda tangan?”
Tanya Nyokap nyaring.
“Iya, Neneng jamin gak ada yang namanya tanda tangan. Mama hanya duduk manis dan
makan aja.”
Kak Neneng promosi.
Mendengar kata makan, Nyokap langsung
semangat, “Makan? Makan apa?”
Kak Neneng gak kalah semangat
untuk menjawab,
“Banyak, Ma, ada
nasi campur, soto, rawon, bakso, sate…”
“Wahhh…banyak juga ya, Neng.” Sambar
Nyokap tambah semangat.
“E-eh, Ma, tapi, semuanya itu adanya di acara kawinan
orang saja, Ma, hehe…”
“Dasar kamu, Neng. Kualat kamu nerjain
Mama!”
Kak Neneng terkekeh sebentar, “Kan cuma
bercanda, Ma. Ma, datang ya, ke acara perpisahan Neneng…” pinta Kak Neneng
mengiba.
“Hhmm…Insyaallah, kalau Mama gak sibuk,” jawab Nyokap diplomatis.
***
Di sekolah, wali kelas mengumumkan bahwa akan diadakan perpisahan anak kelas enam. Nah, dalam acara perpisahan tersebut diperlukan paduan suara. Dari hasil rapat guru, dihasilkan kesimpulan bahwa akan dibentuk paduan suara yang berasal dari kelas lima SD. Pada saat mendengar pengumuman itu, gue seneng bukan main. Karena ini kesempatan gue untuk menjadi pengiring kelulusan Kak Neneng. Apalagi dengar cerita Nyokap sama Kak Neneng kemarin, gue jadi tambah semangat. Ya, siapa tau aja Nyokap beneran hadir. Jadi gue bisa tunjukkin ke Nyokap kalau gue adalah anak yang bisa bikin dia bangga. Kapan lagi coba bikin Nyokap bangga? Mumpung Nyokap mau ke sekolah, pikir gue.
Wali kelas mengumumkan akan dipilih
empat orang perempuan dan dua laki-laki buat kelompok paduan suara. Jantung gue
tiba-tiba berhenti seketika. Apa? dua orang? Sedikit banget, gak mungkinlah gue lolos! Ada si Togar yang suaranya ‘pup’ abies,
ada si Dery yang suaranya serak-serak
basah—saking basahnya sampai baju
seragam sekolahnya,
selalu saja dipenuhi dengan ilernya! Apalagi si Dedy, asli
suaranya merdu banget! Apalagi bulunya? Wuihh... Ridho rhoma aja, kalah tiga helai dari bulu dadanya si
Dedy! Sexi abis, deh
pokoknya! (Lho?).
Tapi segera gue gelengkan kepala dan
berkata, “TIDAK…” , Abaikan rayuannya dan katakan, “TIDAK…”, tutup telinga dan
katakan, “TIDAK…” Gue harus bisa! Kata gue menyemangati diri gue sendiri.
Tidak lama kemudian, satu persatu nama
teman gue dipanggil. Masing-masing dengan pilihan lagunya yang didominasi
dengan tema kemerdekaan, begitu juga dengan gayanya, ada yang milih gaya bolak-balik gak
karuan, ada yang nari kayak cacing kepanasan, tapi kebanyakan nerapkan gaya Kucing boker alias gak gerak-gerak—Diam
di tempat!
“Selanjutnya, Edy kurniawan…” kata Wali kelas cepat.
Edy yang dipanggil namanya tampak
ragu-ragu untuk maju ke depan kelas. Setelah dipanggil ketiga kali baru dia
berani maju.
“Mau nyanyi lagu apa, Edy?” Tanya wali
kelas lembut.
Si Edy tampak kebingungan. Kakinya
tampak gemetaran…”G-gak tau, Bu…”
“Ooo…Silahkan…”Kata wali kelas.
Si Edy tambah bingung, mungkin dalam
hatinya udah di bilang gak tau, kok masih di suruh nyanyi. “Saya gak tau, Bu…”
Wali kelas masang muka juteknya, “Ya,
Ibu juga tau, kamu mau nyanyi lagu gak tau, cepat sudah…”
“T-tapi, Bu, Ayamku…”
Tanpa di duga wali kelas menjawab
dengan mantap, “Sudah, nyanyi sana!”
Tidak mau kalah Si Edy pun menyahut,
“Pok, pok….”
“Nih, anak ... disuruh nyanyi malah bercanda! Cepat
nyanyinya…”
“Nyanyi lagu apa, Bu?”
“Loh, katanya nyanyi lagu ‘gak tau?’
kok malah nanya?” wali kelas balik nanya, “Ngomong-ngomong, yang nyanyi ‘gak
tau’ itu siapa,ya?
Kok Ibu belum pernah dengar sebelumnya?” Tanya wali kelas garuk-garuk kepala.
GUBRAKKKK…*Semua siswa kesurupan massal.
***
“Firman…” panggil wali kelas
Firman maju ke depan kelas dengan
pedenya. Gayanya cool abes. “Assalamualaikum…” katanya membuka suara, persis
suara Rhoma Irama lagi dicream bath.
“Walaikumsalam…” jawab kami semua.
Kemudian wali kelas berdehem, meredakan suara gaduh kami, “Mau
nyanyi apa, Firman?”
“Ibu kita Kartini, Bu.” Jawab Firman
mantap.
Wali kelas tampak kaget, “Kok kamu
tahu, Ibunya,
ibu bernama Kartini?”
Firman masang muka bego, “Maksudnya,
Bu?” kata Firman keheranan.
“Loh, kan kamu tadi bilang, Ibu kita
Kartini? Namanya Ibunya, Ibu itu Kartini, berarti nama Ibunya kamu Kartini juga, kan?”
Pletakk…#TandaKiamatSudahDekat
#TerompetSangkakalaDitiup.
Firman ngatur napasnya, “B-bukan,
Bu…Maksudnya,
saya mau nyanyi Ibu kita Kartini.” Firman berusaha menjelaskan.
“Ooo…bilang kek dari tadi!”
Firman mati gaya. Pasti dalam hati dia mikir gini, “Tuhan cabut nyawa
saya! Cabut, Sekarang
juga…”
“Kok diam, nyanyi sudah…” kata Wali
kelas membuyarkan lamunan Firman.
Firman pun bernyanyi…
”Wahai ibu kita Kartini,
pendekar bangsa, pendekar kaumnya,
untuk merdeka…”
Denger bait pertama gue udah ngerasain feeling gak enak, kok
langsung lompat ke bait ini.
“Wahai ibu kita Kartini, Putri yang
mulia,
Sungguh besar cita-citanya,
Bagi Indonesia.”
This Okelah…gak ada yang salah…
“Wahai ibu kita Kartini,
pendekar bangsa,
pendekar kaumnya, untuk merdeka…
Kok bait ini di ulang lagi…
Wahai ibu kita Kartini, pendekar
bangsa, pendekar kaumnya, untuk merdeka…”
Hah…kok di ulang lagi
”Wahai ibu kita Kartini,
pendekar bangsa, pendekar kaumnya,
untuk merdeka…”
APAAA?! DIULANG LAGI!
5 menit kemudian…
“Wahai ibu kita Kartini,
pendekar bangsa, pendekar kaumnya,
untuk merdeka…”
“STOPPP…”
teriak wali kelas kenceng. “Firman, kapan berakhirnya nih lagu?!” Wali kelas
nampak emosi. Nampak darah keluar dari telinga dan keteknya.
“Hehe…maaf, Bu… Firman lupa sama lirik lagunya,” Katanya menggaruk-garuk kepalanya gak gatal.
Wali kelas memajukan bibirnya, “Sudah
duduk, sana…”
“B-baik, Bu…Tapi, sekarang Firman sudah
ingat, Bu! Boleh ngak Firman nyanyi sekali saja, pliss…”
Walaupun kesal Wali kelas
mempersilahkan Firman bernyanyi ulang.
“Ibu kita Kartini,
Pendekar bangsa, Pendekar kaumnya
Untuk merdeka…
Wahai Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia.”
Semula semuanya baik-baik saja…
“Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
BAU…Orangnya.”
Apa? Bau?! Gak salah denger nih kuping
gue. Tiba-tiba teman satu kelas gue pada ngakak guling-guling. Wali kelas langsung berdiri dan
bertepuk tangan dengan keras, “Luar biasa, Firman... sampai ketemu…”
Firman tidak bisa menyembunyikan
perasaan gembiranya, dalam hatinya,
pasti dia mikir kayak gini, Sampai ketemu di…Jakarta…
Tapi Wali kelas malah ngomong kayak gini, “Firman, sampai ketemu
di..NERAKA!”
Denger itu Firman langsung lemes.
***
Jantung gue langsung berdetak kencang, ketika nama gue dipanggil. Gue maju
dengan ragu-ragu. Jujur gue belum menemukan lagu yang pas buat dinyanyikan.
Lagu kemerdekaan udah biasa, lagu anak-anak apalagi, mau nyanyi lagu pahlawan,
ntar salah lagi seperti si Firman.
“Iwan, nyanyi lagu apa?”
Gue mikir cukup lama, akhirnya gue nemu
lagu yang cocok, “H-hmm..lagu Ratapan anak tiri, Bu…” jawab gue mantap.
Mendengar jawaban gue, teman-teman gue
pada bengong. Ratapan anak tiri? Lagu apaan tuh?
Gue milih lagu ini, karena hanya lagu
ini saja, lagu dewasa yang gue hapal. Gue berharap, Wali kelas bakal terenyuh hatinya, mendengar isi lagu ini. Sehingga
peluang gue untuk lolos akan semakin besar.
Setelah dipersilahkan untuk menyanyi,
gue pun langsung memejamkan mata. Gue berharap dengan memejamkan mata, gue dapat menghayati isi lagu ratapan anak
tiri ini dengan maksimal.
“Betapa malang nasibku
semenjak ditinggal Ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang Ibu, Ibu Tiri…”
Gue buka mata, semua mata kini telah tertuju pada gue…
“Tiada sama rasanya
Ibu kandung yang tercinta
Menyayang sepenuh jiwa
penuh kasih lagi mesra…”
Gue memeluk tubuh gue, seolah-olah gue memerlukan kasih
sayang, gue kecup pipi gue seolah gue butuh kecupan (Emang bisa?)
“Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku
saja
Selagi ayah disampingku ku dipuja, ku
dimanja
tapi bila ayah pergi ku dinista dan
dicaci
bagai anak tak berbakti, tiada
menghirauku lagi.”
Air mata gue mengalir dengan derasnya, seolah-olah kejadian
ini bener-bener terjadi pada gue.
“Aduhai ibu tiriku
kasihanilah padaku
bagai anakmu sendiri
agar dapat ku berbakti…”
Gue pengen banget ngasih ending yang ‘wah’, maka secara cepat, gue langsung bersimpuh di lantai, dengan
tangis sejadi-jadinya. Asli kalau ingat ini, Gue pengen muntah! Kok bias-bisanya, cowo setampan dan semacho gue
ngelakuin hal memalukan
seperti itu? Asli abstrud banget!
Tiba-tiba tepuk tangan bergemuruh di
kelas.
***
“Baik, anak-anak, setelah Ibu mendengarkan
lagu kalian satu persatu,
Ibu akan putuskan siapa diantara kalian yang berhak masuk babak SPECTACULAR
SHOW. Dan Indonesia memilih…Desi kamu aman, selanjutnya, Anggi, kamu bergabung dengan Desi, karena
kamu juga aman. Dedy kamu lolos.”
Gue tarik nafas dalam, berharap gue
bakal terpilih, “…dan tempat berikutnya adalah…I-imelda…”Uhhh…dasar kirain iwan
pikir gue dalam hati. Siapakah dua kontestan yang terpilih berikutnya, SESAAT
LAGI HANYA DI INDONESIA IDUL…”#Tayangan iklan pun muncul.
“Selamat datang kembali Di Indonesia
Idul, Baiklah tanpa berlama-lama inilah kontestan berikutnya yang lolos babak
spectacular show. Kamelia, kamu aman. Dan konsestan terakhir yang membuat
panggung workshop menjadi gegap gempita, dia adalah…I-iii…KAN…”
Semua pada bengong, Ikan…semua pada
noleh satu sama lain. Wali kelas menahan senyumnya, “Ya, kontestan berikutnya
adalah…I-iii…wann…”
Mendengar itu, gue
langsung lompat kegirangan, “Yeahh, gue lolos”, teriak gue sambil
menggeol-geolkan kepala berulang kali.
***
Di hari perpisahan…
Dengan pakaian
yang serba putih kami maju ke atas panggung.
Gue perhatikan penonton yang ada di hadapan gue. Ada seorang wanita yang
tak lagi muda di sana. Dia duduk terpaku di tempatnya. Mungkin kaget, melihat anaknya
yang selama ini dikenal sebagai anak yang penakut, tiba-tiba berani berdiri di
hadapan banyak orang, untuk membawakan
beberapa lagu di acara kelulusan sekolah. Ya, anak itu adalah gue.
Matanya terpaku
menatap gue, bahkan sampai diakhir lagu. Ada seutas senyum mengembang di ujung
sana. Air matanya mengalir perlahan. Rasa bangga tertampang dari wajahnya yang
mulai menua, Sapu tangan perpaduan putih dan biru, tidak mampu menampung
basahan air matanya. Tidak lama kemudian kau menangkupkan tangan kananmu di
dadamu.
Mama, lagu ini, Iwan persembahkan buat Mama…,
kata gue dalam hati sambil menyanyikan lagu ketiga yang merupakan lagu terakhir
dari acara perpisahan ini.
Gemuruh tepuk
tangan menggema. Tapi seketika terhenti. Suara nyaring sebuah tepuk tangan menyebabkan
semua orang terdiam—mencari asal suara. Kulihat kau berdiri dari tempat dudukmu.
Tepukan keras kedua tanganmu menyebabkan semua orang kini memeperhatikanmu!
Sedetik kemudian, kau kembali duduk di tempatmu semula. Mungkin kau sadar akan
perbuatanmu barusan. Dengan muka memerah kau mengucapkan, “Maaf...”
Mama, banggakah kau kepada gue? Iwan harap begitu..
Loading...