Curutku Sayang, Curutku Malang...
Gue
pegang tangannya (Baca= Stang) dengan lamat-lamat. Sementara kaki gue bergerak
mendekati paha mulusnya (Baca= Standar). Tanpa melihat kearah standar, gue
angkat pahanya (Ayoo, mikir apa?! Ingat, di baca Standar). Belum juga pahanya
terangkat, tiba-tiba kaki gue merasakan
sesuatu…
“Aaaarggggghhhhh….”
Teriak gue seketika. Reflek gue turunin lagi standar yang sempat terangkat.
Sebuah bunyi menjijikkan terdengar nyaring,
“Cit-citt…”
Tanpa
memperdulikan suara itu, gue langsung memegangi kaki gue yang sakit. Apaan itu
tadi? Seperti rasa terstrum? Karena penasaran, apa yang membuat kaki gue begitu
sakit—gue perhatikan sekitar standar. Ternyata ada sesosok makhluk TANPA BUSANA
yang tampak terlentang pasrah pada paha motor bebek gue! Makhluk cabul itu bernama…C-A-N-C-U-T alias CURUT!
Gue
lihat dia meronta-ronta kesakitan. Rasa
iba seketika memenuhi pikiran gue.
Gue harus nolong nih curut, kata gue dalam hati. Tapi bagaimana caranya?
Kalau gue lepasin dengan cara mengangkat standar seperti tadi, pasti gue jadi
sasaran gigitannya lagi? Tapi kalau…
Belum
juga menemukan solusi penyelamatan curut, tiba-tiba Nyokap datang, “Napa, Wan…
pagi-pagi sudah teriak?”
“Itu,
Ma… tadi habis di gigit curut,”kata gue sambil nunjuk curut yang sekarang lagi
Facebook-an.
“Ooo…,”katanya
panjang dan langsung masuk kedalam rumah lagi.
Setelah
beratus-ratus tahun lamanya, akhirnya gue menemukan solusi penyelamatan nyawa
curut malang itu. Gue akan naik kursi untuk mengangkat Stang motor bebek gue.
Gue berharap, ketika Stang motor diangkat, si Curut akan terbebas dari tekanan
motor dan gue akan aman dari gigitan si Curut.
Setelah
menyiapkan kursi di depan motor—gue langsung mengangkat Stang motor. Dan betul
saja, ketika Stang motor terangkat, curut itupun langsung berlari menjauhi
motor. Tapi, tiba-tiba suara hentakan mengagetkan gue,
“Bruakkk….”
Jantung
gue seperti terhenti sepersekian detik, mata gue melotot gak percaya, mulut gue
ngeluarkan iler bak air bah, Ya Tuhan…
secepat itukah dia pergi? Kata gue kaget.
“Bagaimana?
Hebatkan, Mama?” ucap Nyokap bangga.
Tanpa
memperdulikan kata-kata Nyokap, gue langsung menjauhkan sapu Nyokap dari tubuh
montok si Curut, “Innalillahi wa inna ilillahi, rojiun….” Lirih gue.
“Apa-apan
sih, wan” ucap Nyokap heran.
Dengan
linangan air mata, gue tatap mata Nyokap, “Mama Jahat! Tega sekali Mama
membunuh makhluk Tuhan yang paling sexi, ini? Tidak adakah rasa penyesalan di
dalam dada Mama?” kata gue emosi.
“Ahh,
penyesalan? Tulisan, gitu? Nempel di dada? Tunggu Mama lihat, ya?” ucap Nyokap
langsung menarik kerah bajunya kedepan untuk melihat dadanya, “Ngak ada, Wan?
Yang ada cuma tahi lalat doang!” ucapnya polos.
Jiaaahhh…*Pingsan.
Ketika
sadar, kembali gue tersulut emosi, “Coba Mama perhatikan wajahnya. Apakah Mama
gak kasihan? Coba Mama perhatikan tubuhnya, apakah Mama gak merasa iba?”
“Tunggu…”kata
Nyokap menghentikan omongan gue. Diperhatikannya wajah dan tubuh Curut itu,
“Udah, udah Mama lihat…Mau tau apa yang Mama rasakan? Mama JIJIK
TAUKKK…Ihhh…”katanya bergidik ngeri.
Gedubrakkk….*PingsanDisertaiKejang.
Kembali
gue sadar, “Kasihan Ma, Curut itu! Iwan niatnya mau lepasin, ehh, Mama malah
dengan entengnya membantai curut malang itu. Mama memang gak
berpriBinatangan!” kata gue berapi-api.
Dengan
santainya, Nyokap gambil plastik untuk menutupi tangannya. Lalu di ambilnya
curut itu cepat dan tanpa gue sangka, Nyokap langsung menyerahkan Curut itu ke
tangan gue, “Nih, ambil! Iwan kasihankan? Bawa Ke Rumah Sakit, siapa tau aja
bisa di selamatin!,” kata Nyokap santai.
Melihat
Curut yang ada di tangan gue, reflek membuat gue geli setengah mati. Terus
terang gue juga jijik lihat bentuknya, tanpa pikir panjang langsung gue lempar curut itu gak tentu arah sambil
tereak, “Aaaaaa……”
Sayup-sayup
gue denger suara Nyokap di kejauhan, “Katanya kasihan, kenapa Curutnya di
lempar sembarangan…”
“Ahhh,
gue gak perduli! Biar aja…” Tangis gue sesungukan.
Loading...