Membuang Rasa Malu
Suatu
hari gue berbelanja kebutuhan
pokok di supermarket. Uang yang ada tidak cukup banyak untuk berbelanja, jadi gue membeli barang penting
saja. Ketika barang yang hendak gue
beli, sudah ada di keranjang semuanya—maka gue
bersiap-siap untuk membayarnya.
Beberapa
menit menunggu, akhirnya gue
berada tepat di hadapan kasir untuk membayar. Total belanja gue saat itu 46 Ribu
rupiah. Gue keluarkan uang 50 ribu
rupiah dari dompet, Sykurlah, masih ada empat
ribu rupiah kembaliannya, pikir gue
senang.
Tapi,
apa yang terjadi? Tiba-tiba uang kembalian sebesar empat ribu rupiah itu berganti
menjadi permen sebanyak delapan
buah! Gue kaget, lalu berkata,
“Gue ngak
membeli permen?!” Gue Protes.
Petugas
kasir tersenyum kepada Gue,
“Maaf… kami tidak punya uang kembalian, jadi sebagai gantinya kami ganti dengan
permen…”
“Tapi…”
kata saya ingin protes, “Maaf, Mas…
banyak antrian di belakang Anda, jadi saya harap tuan bisa maju kedepan,”
katanya berusaha ramah.
“Sial…”
umpat saya karena jengkel uang empat ribu rupiah saya berubah menjadi potongan
permen berbentuk lollipop*NagisDiKuburan.
***
Satu
bulan kemudian…
“Total
belanjaan Anda sebesar 123 Ribu rupiah,” kata petugas kasir ramah.
Gue langsung mengeluarkan
uang dari dompet, sebesar 120 ribu rupiah dan mengeluarkan permen enam buah ke
petugas kasir.
“Maaf,
Mas… uang Anda kurang
tiga ribu rupiah…” kata petugas kasir menunjukkan uang yang saya berikan.
Saya
tersenyum, “Anda tidak lihat permen enam buah yang saya berikan! Itu sebagai
ganti uang tiga ribu rupiah yang Anda minta,” kata gue gemes.
“Maaf,
Mas… kami tidak melayani
pembayaran melalui permen,” katanya halus.
“Ooo…
tapi beberapa bulan yang lalu, saya dapat kembalian permen dari supermarket
ini,” kata gue emosi.
Rupanya
petugas kasir itu tidak mau kalah, “Ooo, kalau begitu, Anda tidak dapat
mengambil belanjaan kalau Anda belum membayar dengan uang yang saya minta
tadi,” katanya mengancam.
“Tapi...” kata gue melanjutkan, yang segera dipotong
petugas kasir, “Kalau Mas, tetap bayar, Mas saya panggilkan security,” katanya
mengancam.
Tanpa pikir panjang, gue berkata dengan tegas,
“Silahkan...”
Beberapa menit kemudian, seorang petugas keamanan,
langsung memberegus gue. “Kalau, gak punya uang, gak usah belanja, Mas!”
katanya kasar.
“Ehh, jangan ngomong sembarangan, ya?” Emosi gue
memuncak.
Tampak
suara saling berbisik di belakang saya, “Kasihannya anak-anak itu, mungkin ia tidak punya uang untuk
membayar belanjaannya,” sebuah suara terdengar jelas di telinga gue.
“Apakah
dia pengemis?, atau jangan-jangan dia pencuri? ,” suara
yang lain menambahkan.
Apa?
Gue disangka sebagai
pengemis? Pencuri?
Oh,
tidak! Ini tidak boleh terjadi! Karena takut disangka sebagai pengemis dan
pencuri, buru-buru saya keluarkan uang tiga ribu dari dompet saya.
“Nih, uang tiga ribu yang kamu minta!” teriak gue pada
petugas.
Kembali bisik-bisik tertangkap oleh telinga gue, “Ahh,
kirain tadi gak punya uang! Bikin lama antrean saja!” komentarnya.
Dalam hati, gue menangis pilu.
Kenapa orang berpikir seperti itu?
Padahal niat gue
hanya ingin mempermalukan kinerja Supermarket terhadap gue, mengapa justru gue yang dipermalukan…
Nasib… Nasib…
Loading...