Roda Yang Berputar


“Pulang, pulang...,” kata gue semangat.
Andi dan kelima teman gue sontak melihat jam dinding. Tanpa Ba-Bi-Bu mereka mengikuti langkah gue untuk memasukkan perlengkapan praktik ke dalam tas.

Baru juga memasukkan stetoskop ke dalam tas, tiba-tiba pegawai Rumah Sakit bertanya penuh emosi, “Siapa yang memegang Ny. X?”
Teman gue, yang anggap saja namanya, Sinar mengangkat tangannya, “Saya, Kak...”
“Mengapa obat injeksi ini ada di sini? Kamu menyuntikkannya, ya?!” Pegawai RS mengangkat jarum suntik dari keranjang pasien.
Sinar menganggukkan jidatnya, “Iya, kak... Ada apa?” tanyanya takut.
Pegawai rumah sakit itu menganggukkan pantatnya, “Ada apa, ada apa! Kamu tahu kesalahan kamu?! Kamu salah suntik orang, tauk!” katanya setengah berteriak.
Reflek kami yang ada di sana, berteriak seperti aktor sinetron, “Apa?!”
Pegawai RS itu gak mau kalah, Ia melototkan matanya sambil berkata dalam hati, Dasar wanita tidak tau diuntung! , tapi pada kenyataannya dia berkata begini, “Iya, kamu salah suntik pasien! Untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kamu maka kamu tidak boleh pulang! Kamu harus mengawasi pasien itu!”
“Apa?!” teriak Andi.
“Sinarnya gak boleh pulang, Ndi! Dia dapat hukuman!” bisik gue ditelinga Andi.
“Ooo, gitu! Jadi kita boleh pulang sekarang? Bilang kek dari tadi,” katanya terkekeh.
Dasar budek! Kata gue dalam hati, “Iya, pulang KERAHMATULLAH...” jawab gue kesel.
***
Karena kasihan melihat Sinar, niat buat pulang ke rumah akhirnya gue tunda. Sementara teman gue yang lain tetap pulang meninggalkan dirinya. Entah megapa, teman gue, Sinar ini dijauhi oleh teman-teman yang lain. Mungkin karena rupanya yang gak cantik, penampilannya yang ndeso sampai IQ-nya yang kata teman-teman dibawah rata-rata alias jongkok!
Walaupun satu angkatan dengan Sinar, tapi gue gak mengenal sosoknya dikarenakan gue berada di kelas berbeda. Tapi dari yang gue lihat, dia gak mempunyai satu temanpun sewaktu di kampus, begitu juga di tempat praktik! Jadi gak salah kalau kakak tingkat gue sampai menggelari dia sebagai SISWI TERBURUK diangkatan gue!
Stetoscop dalam tasnya dikeluarkan, tidak lama kemudian ia masuk ke ruangan pasien yang menjadi korban salah suntiknya. Sementara gue mengikutinya dari belakang.

“Berapa?” kata gue melihat Sinar selesai menensi.
Tampak ia kaget akan kehadiran gue. Mungkin ia tidak menyangka, gue akan menemani dia dalam menjalani hukuman. Tapi sedetik kemudian ia menjawab, “120/80...”
Gue menganggukkan kepala. Selang satu jam kami tunggui, alhamdulillah pasien tidak mengalami efek samping dari obat yang diberikan. Pasien dalam kondisi stabil, tidak mengalami alergi maupun sesak nafas. Begitu seterusnya, sampai selesai masa hukuman Sinar.
Ketika bersiap ingin pulang, Sinar menggamit tangan gue. Reflek mata gue menatap ke wajahnya. “M-makasih,” ujarnya terbata-bata. Tampak bibirnya bergetar mengucapkan satu kata itu, begitu juga dengan matanya yang nampak berkaca-kaca, selang beberapa detik kemudian air matanya menetes membasahi pipinya.
“Sama-sama...” kata gue berusaha tersenyum.
Ia membalikkan badannya dan langsung berlari kecil meninggalkan gue.
***
Empat Tahun Kemudian...
“Wan, tau gak—teman kita, Sinar yang paling bodoh diangkatan kita itu, ternyata sudah menjadi Dokter spesialis!” Ujar Monica teman satu angkatan gue heboh.
“Masa?” kata gue singkat. Malas meladeni gosip yang gak penting itu.
“Iya,”Jawabnya setengah berteriak, “Kamu, gak nyangka kan? Gue aja kaget waktu dengar beritanya! Perasaan pinteran gue deh dari dia! Kok bisa-bisanya dia mendahului kita!”
Gue masih sibuk mengisi status pasien, menjawab enteng, “Mang, gak boleh?”
“Boleh sih, tapi gak rasional aja lihat dia udah jadi spesialis!”
Gue geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya teman gue mikir begitu. Tapi pemikiran gue jadi terbantahkan, gue kira Monica aja yang berpikir begitu, ternyata hampir semua teman yang gue temui ngomong seperti itu.
Ahhh, inilah dunia. Gak selamanya sesuatu itu dibawah. Dunia ini seperti roda yang berputar—kadang di atas, kadang  di bawah...



Loading...

Subscribe to receive free email updates: