Cara Praktis Menagih Hutang
Tidak
seperti biasanya—siang itu, saya merasa badan pada pegal-pegal semua. Rasanya
remuk seluruh badan. Dibawa tidur gak bisa tidur, dibawa makan gak enak makan,
dan dibawa ke pasar gak bisa untuk di
jual (?).
Akhirnya,
saya cuma bisa uring-uringan di kamar. Untung saja sedetik kemudian, saya
mendengar dua keponakan saya datang. Reflek saya teriak, “Adih, Rahmat... ke
kamar Om sekarang!” perintah saya nyaring.
Kedua
kakak beradik itu langsung nongol di depan pemakaman, “Ada apa, Om?” tanya
mereka malas.
“Biasa...”
jawab saya ngasih kode buat mereka memijiti badan saya.
“Gak,
ahh... Om, malas!” jawab mereka serempak, “Kecuali...” gantung Adih.
“Kecuali,
apa?” tanya saya.
Adih
tampak cengegesan, “Kecuali, dikasih uang baru kami mau mijitin Om!”
Dengar
permintaan mereka, reflek gue berkata, “Dasar Tuyul! Masih kecil sudah mata
duitan! Mau jadi apa bangsa ini, kalau punya generasi seperti kalian,” protes
saya.
“Ahh,
terserah mau jadi apa, Om. Kami gak perduli,
wong sekarang aja uang Negara udah di habisin kok, sama koruptor,” jawab
Rahmat cepat.
“Iya,”
Jawab Adih membela kakaknya.
Karena
badan saya capek banget, akhirnya saya setuju untuk memberi mereka uang. Tapi,
karena pada dasarnya saya orang pelit, saya mau ngasih mereka uang sesuai
dengan berapa kali kaki mereka menginjak punggung saya. Kalau cuma 100 kali
injakan, berarti mereka dapatnya cuma 100 rupiah saja, haha...
***
Sejam
kemudian...
1001...
1002... 1003...
Mata
saya sudah merem melek... pengen tidur.
Setengah jam kemudian...
10000
... 10001...
Sayup-sayup
terdengar suara Adih.
Tiba-tiba...
“Om,
om.... bangun! Adih capek,” katanya menggelengkan badan saya.
“Ahhh,”
erang saya, “Lanjutin lagi... NGANTUK!”
Tak
mau terima, Adih membuka mata saya, “Om, gak sholat Ashar,” katanya
mengingatkan.
“E-ehm,
nanti aja,” kata saya masih malas bangun.
“Ya,
sudah, kalau begitu bayar dulu utang Om Iwan, SERATUS RIBU!” gerutunya.
Ahh, seratus ribu? Gak salah nih
anak? Mau main curang rupanya, tanya saya dalam
hati, “Berapa?! Seratus Ribu?!” kata saya menjerengkan mata.
“Iya,”
angguk Adih, “Mana? Bayar...” pintanya.
“Dasar
Tuyul! Tukang tipu. Siapa yang ngajarin?” bentak saya tidak terima.
Adih
mengkerutkan keningnya, “Siapa yang menipu? Memang seratus ribu kok!” balasnya.
Gue
pegang rambutnya, “Jadi anak itu gak boleh bohong. Dosa tauk,” kata saya mulai
emosi.
“Siapa
yang bohong, Tuh... buktinya ada sama kak Rahmat,” tunjuknya pada kamera Hp
yang dipegang kakaknya.
Langsung
saya rampas Hp itu dari tangan Rahmat. Saya tonton Video itu cepat. Ternyata
benar, mereka tidak bohong. Mereka menginjak punggung saya 100.000 kali! Ampun dah... pantes enak banget,
haha...
Karena
saya licik, saya mau berusaha kabur, “Seratus ribu, ya? Kecilll... Om, sholat
dulu, ya?”
“Ok,
Om” kata Adih kalem.
Hehe, berhasil juga taktik saya.
Habis sholat, saya akan tinggal pergi
mereka, haha... teriak niat jahat saya.
Selepas
sholat, saya bersiap-siap kabur, tapi tiba-tiba...
“Om,
Adih pamit pulang dulu, ya?” katanya menyalimi tangan saya.
“Ok,”
jawab saya berharap mereka cepat pergi dan melupakan utang seratus ribu saya.
Belum
juga satu menit, tiba-tiba ada gerakan kaki cepat menuju saya, “Om, Lupa,”
katanya, “Uang seratus ribu, Om... sudah Adih ambil ya, di dompet Om, tadi,
hehe...” katanya terkekeh.
“Ok”
kata gue bengong akan apa yang terjadi, tapi beberapa detik kemudian, “Apa?
Ambil uang seratus ribu di dompet?!” teriak saya menyadari kebohon saya,
“Tolonggg, ada Tuyulll....” Teriak gue lagi. Histeris.
Loading...